![]() |
Gambar Ilustrasi. Sumber: Google |
Berbicara masalah ekonomi
merupakan hal yang sangat urgen dalam kehidupan. Karena erat kaitannya dengan
masalah memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik sandang, pangan dan papan. Tentu
hidup tak terlepas dari kegiatan-kegiatan tersebut, mulai dari sekedar memenuhi
kebutuhan pokok, membangun sebuah tempat tinggal layak huni, sampai kepada
akumulasi kekayaan. Hal ini boleh-boleh saja asalkan tidak bertentangan dengan
nilai-nilai yang diatur dalam batasan syari’at agama.
Dalam banyak literatur ulasan mengenai
permasalahan ekonomi berdasarkan nilai-nilai Syari’ah telah banyak dibahas. Dalam
ulasan artikel yang singkat ini, saya ingin membahas masalah ekonomi syari’ah
dari sudut yang sangat penting yaitu memasukkan nilai-nilai tasawuf dalam
kegiatan ekonomi. Karena, berbicara masalah ekonomi syari’ah yang selama ini
didengungkan belum tersentuh ke nilai-nilai tasawuf. Namun, ketika berbicara sufi-economics sudah tentu berdasarkan nilai-nilai Islam dalam transaksi
ekonomi. Di sinilah letak perbedaannya.
Lalu, apa pentingnya tasawuf
dalam kegiatan ekonomi atau sufi-economics? Melihat tujuan tasawuf dalam kehidupan
adalah untuk mensucikan diri. Orang-orang yang gemar bertasawuf berarti
orang-orang yang gemar mensucikan diri dari berbagai dosa dan kesalahan melalui
ibadat dan mendekatkan diri kepada Allah swt.
Dalam kegiatan ekonomi bila unsur
tasawuf ini dimasukkan, setidaknya dua keuntungan sekaligus bisa didapatkan.
Pertama, seseorang melakukan transaksi ekonomi meyakini tidak untuk mendapatkan
keuntungan semata, sehingga dengan kegiatan ekonomi ini ia meyakini dapat
mendekatkan diri kepada Allah, transaksi ekonomi merupakan sebuah ibadah baginya,
dengan begitu ia merasa lezat dan sangat dekat dengan Allah. Kedua, seseorang
tidak hanya mensucikan dirinya, melainkan mensucikan kegiatan ekonominya. Ia meyakini
dalam transaksinya harus berlaku jujur, lemah lembut, tidak melakukan transaksi
yang dilarang dan sebagainya.
Jadi, jangan dipahami sufi-economics
sesuatu yang kuno, kaku, dan jumud. Karena, dalam sufi-economics seorang pelaku
ekonomi tidak dituntut bersurban, bibirnya berkelumit zikir, harus bergamis
atau berjubah dan menundukkan pandangan.
Geliat ekonomi di Pidie
belakangan ini semakin semarak. Mulai dari dalam hutan belantara sampai ke
jantung kota. Namun, apa kesadaran ekonomi tasawuf atau sufi-economics ini meresap ke dalam setiap individu yang melakukan kegiatan ekonominya? Saya rasa
tidak. Bisnis dalam hutan belantara misalnya, ilegal loging atau penebangan
liar semakin menggeliat di Pidie.
Saya merasakan hal itu karena
berada di Kecamatan Padang Tiji, sebagai salah satu kecamatan penebangan liar
terparah di Kabupaten Pidie. Mulai dari waduk Seumayam atau kalau kita
menjejakkan kaki di Cot Merah Pati, kawasan Kemukiman Tanjong, kita bisa
melihat hamparan gundul akibat penebangan liar yang masif dan terstruktur.
Belum lagi kalau kita masuk ke dalam tepatnya di bawah kaki gunung Seulawah Agam,
maka terbelalak mata kita melihat aksi pencurian kayu gunung ini.
Lebih parah lagi, ternyata di
dalam hutan terdapat pos-pos tempat menginap yang dilengkapi oleh alat dapur
sebagai tempat memasak. Ternyata transaksi bisnis liar ini, telah menjadikan
individu-individu menjadi liar.
Maka, tidak heran bila musim
hujan tiba, sesaat saja hujan lebat di kawasan Padang Tiji, banjir pun datang
menyeberangi kawasan jalan raya Blang Putek, selanjutnya melewati Gampong
Meuria, lalu Gampong Baro Beurabo, selanjutnya singgah di Gampong Seuleungging
Beurabo. Siklus ini tidak pernah berubah, tiap tahun, bahkan tiap hujan lebat.
Kasus di atas menuntut para
pelaku ekonomi untuk mempunyai rasa kemunusiaan yang tinggi, kegiatan ekonomi
bukan semata karena masalah mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, tapi
harus memikirkan kehidupan orang lain. Di sinilah sufi-economics dibutuhkan, bukan
untuk meluruskan kegiatan penebangannya agar membaca bismillah sebelum menebang
pohong, melainkan untuk memilih pekerjaan lain dan meninggalkan penebangan
liar. Dalam ekonomi tasawuf, walaupun memegang cangkul dan mendapatkan hasil sedikit,
yang penting halal dan berkah. Rasulullah SAW dulu pernah mencium tangan laki-laki yang tangannya kasar karena rajin bekerja.
Bila sufi-economics benar-benar
diterapkan oleh masyarakat Pidie, khususnya, bukan tidak mungkin tasawuf di
bidang lain akan mengikuti. Nanti akan ada Tasawuf Politik (Sufi-Politic), di
sini nanti seorang politisi tidak hanya dituntut sebagai negarawan, namun juga
harus menjadi politisi yang beriman dan suci, sehingga korupsi tidak ada lagi,
dan uang negara terselematkan. Dan bidang-bidang lain juga akan mengikuti,
tidak mungkin saya sebutkan secara rinci, karena di sini saya fokuskan kepada
pengembangan ekonomi tasawuf (Sufi-Economics).
Klaim awak pidie menguasai
seluruh sudut dan pelosok pasar ekonomi di Aceh tidak bisa dielakkan. Orang
Pidie di mana-mana sudah menjadi keniscayaan. Suka merantau dan rajin dalam
membuka usaha sudah menjadi watak yang mendarahdaging bagi orang Pidie.
Berdasarkan fakta ini, masyarakat Pidie, baik di dalam maupun di luar daerah,
sudah saatnya “mendarahdagingkan” sufi-economics, sehingga nanti akan dikenal
di mana ada orang Pidie, di situ pula ada sufi-economics. Sehingga Pidie ke
depan tidak lagi dikenal dengan pelitnya, tapi dikenal karena ekonomi
tasawufnya.
Saya berharap masyarakat Pidie harus bisa
membangun kesadaran ekonomi tasawuf, ini tidak terlepas giatnya kegiatan
ekonomi masyarakat Pidie, baik di dalam maupun luar daerah. Pelaku-pelaku
ekonomi di Pidie harus menjadi pelopor ekonomi tasawuf. Masyarakat pidie harus
membangun sebuah keyakinan, bila meningkatkan attitude lebih penting
dari pada meningkatkan keuntungan. Dengan begitu, ekonomi saat ini yang telah
dikekang oleh sistem-sistem kapitalis, bisa kita murnikan lagi dengan nilai-nilai
Islam melalui sufi-economics. Bukan tidak mungkin kesadaran ekonomi tasawuf ini
menjadi tren positif bagi perkembangan ekonomi Islam di kemudian hari. Semua
itu berawal dari Kabupaten Pidie dan dari orang Pidie. Semoga.
@Rahmatullah Yusuf Gogo
Padang Tiji, Juni 2017.